Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN-RI akan menyelenggarakan Rapat Koordinasi Penyusunan Program dan Anggaran PNBP 2014 dengan para Kabag TU Kanwil BPN seluruh Indonesia (33) dan 39 Kepala Kantor Pertanahan terpilih sebagai upaya proses penyusunan dokumen program, kegiatan, dan anggaran dengan produk yang akan dihasilkan berupa Rencana Program dan Anggaran BPN RI.

Rapat akan dilaksanakan di Hotel Golden Boutique Selasa-Jumat 2-5 April 2013, dengan bekal yang wajib dibawa oleh para Kabag TU Kanwil BPN Provinsi (33 orang) meliputi: 1) Data Poko Pertanahan (Kanwil dan semua Kantah Kab/Kota); 2) Form Isian rancangan PNBP; dan 3) rencana Buka Blokir.

Selamat bertugas, semoga sukses.

PENGEMBANGAN TANAH WAKAF
disunting oleh Bambang Ardiantoro bin Santoso mail: bambangardiantoro@yahoo.co.id 085267976987

MENGEMBANGKAN BADAN HUKUM PUBLIK SEBAGAI WAKIF
DAN
WAKAF TANAH UNTUK JANGKA WAKTU TERTENTU

PENGANTAR
Islam mengajarkan bagaimana umat mewujudkan masyarakat sejahtera yang berkeadilan sosial. Di dalam Al-Qur’an diatur cara menafkahkan harta yang dimiliki umat Islam demi kesejahteraan umum, antara lain melalui zakat, infaq, shadaqah, qurban, hibah dan wakaf. Potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis perlu digali dan dikembangkan. Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai prinsip syariah.
Salah satu benda tak bergerak yang dapat diwakafkan adalah tanah yang merupakan sumber segala macam kekayaan materi, karena dari tanah dapat diperoleh berbagai manfaat. Tanah harus dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan sebesar-besar kemakmuran rakyat yang merupakan amanat Undang-undang Dasar RI Tahun 1945 sebagaimana dipertegas dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif (yang mewakafkan) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda wakaf miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Sementara itu, secara fiqih tradisional, wakaf ditakrifkan sebagai “menahan suatu benda yang kekal dzatnya, yang dapat diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan” (Fiqih Islam, Sulaiman Rasyid, p. 339).

UNSUR WAKAF
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf yaitu: Wakif; Nazhir; harta benda wakaf; Ikrar wakaf; peruntukan harta benda wakaf; dan jangka waktu wakaf.

1. Wakif dan Nazhir
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Wakif meliputi perseorangan, organisasi atau badan hukum. Syarat wakif dapat mewakafkan hartanya diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf sebagai berikut: Wakif perseorangan hanya dapat melakukan ikrar wakaf apabila memenuhi persyaratan: dewasa; berakal sehat; tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan pemilik sah harta benda wakaf. Wakif dengan demikian tidak harus beragama Islam. Wakif organisasi dan badan hukum dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi atau badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi atau badan hukum sesuai dengan anggaran dasar organisasi atau badan hukum yang bersangkutan. Sudah tentu organisasi atau badan hukum tersebut harus merupakan subjek yang dapat memiliki tanah di Indonesia. Badan hukum dapat menjadi wakif sudah diatur sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, seharusnya pada saat itu sudah dapat diartikan bahwa Hak Guna Bangunan dapat diwakafkan karena hak guna bangunan merupakan tanah milik badan hukum.
Wakif selain badan hukum privat yaitu Perseroan Terbatas, koperasi maupun yayasan, dapat dikembangkan ke badan hukum publik misalnya Pemerintah Kabupaten/Kota, tidak ada larangan pemerintah kabupaten/kota untuk menjadi wakif sepanjang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyetujuinya. Pemerintah kabupaten/kota sebagai wakif diperlukan apabila fasilitas umum suatu areal perumahan yang status tanahnya merupakan milik atau asset pemerintah kabupaten/kota dibangun masjid yang dalam hal ini dana pembangunan masjid sepenuhnya dana dari masyarakat bukan dana dari pemerintah kabupaten/kota.
Status hukum bidang tanah aset pemerintah kabupaten/kota dengan di atasnya dibangun masjid oleh masyarakat bukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk kelangsungan pengelolaan masjid seyogyanya status bidang tanah tersebut menjadi tanah wakaf dengan wakif pemerintah kabupaten/kota.
Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Nazhir dapat berupa perseorangan, organisasi atau badan hukum. Nazhir mempunyai tugas: melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya; mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; hingga melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).

2. Tanah Sebagai Benda Wakaf
Tanah sebagai benda wakaf harus dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah, demikian juga perolehannya. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik telah secara tegas dan jelas menyatakan bahwa tanah yang dapat diwakafkan harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara. Dalam PP No. 28 Tahun 1977 tersebut tanah telah terbagi dalam dua kriteria: yang pertama tanah hak milik diartikan sebagai tanah dengan status hak atas tanahnya Hak Milik sebagaimana dimaksud Pasal 20 UUPA, yang kedua tanah milik diartikan tanah yang dimiliki selain kriteria pertama tadi yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. PP No. 28/1977 telah memberi peluang Hak Guna Bangunan maupun Hak Pakai di atas Tanah Negara sebagai benda wakaf, namun jarang dimanfaatkan karena ditafsirkan seolah-olah hanya tanah dengan status Hak milik yang dimaksud Pasal 20 UUPA saja yang dapat diwakafkan. Selama ini ada keragu-raguan untuk mewakafkan tanah dengan status Hak Guna Bangunan. Pasal 1 ayat (2) PP 28/1977 secara jelas menyatakan bahwa badan hukum dapat mewakafkan tanah miliknya, karena pada umumnya tanah yang dimiliki badan hukum statusnya Hak Guna Bangunan maka tanah dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) sejak adanya PP 28/1977 sudah dapat menjadi benda wakaf. Keragu-raguan terhadap status tanah HGB yang menjadi benda wakaf yang diatur PP 28/1977 seharusnya tidak perlu terjadi apabila mencermati substansi peraturan pemerintah tersebut. Selanjutnya Pasal 17 ayat (1) huruf b, c, dan d Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mempertegas hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pakai (HP) di atas Tanah Negara (TN), demikian juga hak guna bangunan (HGB) atau hak pakai (HP) di atas hak pengelolaan (HPL) atau hak milik (HM) dan hak milik atas satuan rumah susun (HM-SRS) dapat menjadi benda wakaf. Tanah Milik selama ini selalu diartikan tanah dengan status hak milik (HM) padahal tanah milik dapat juga berstatus hak guna bangunan (HGB) maupun hak pakai (HP), serta HGU ataupun HMA (hak milik adat yang masih berupa pemilikan secara adat dengan bukti Petuk C/D [dengan bentuk kutipan C-Desa di Jawa Tengah], Kekitir, Girik, SKGR, SK-HUAT, atau sejenisnya).

3. Ikrar Wakaf dan Peruntukannya
Guna melindungi harta benda wakaf dan menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf untuk sahnya, maka perbuatan wakaf selayaknya wajib dicatat dan dituangkan dalam suatu akta ikrar wakaf dan didaftarkan. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nazhir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) di Kantor Urusan Agama tingkat kecamatan, sebagaimana diatur bahwa ikrar wakaf dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW. Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan sarana dan kegiatan ibadah, pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir-miskin, anak terlantar, yatim-piatu, beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. Penetapan peruntukan harta benda wakaf dilakukan oleh wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf dimaksud di hadapan PPAIW.
Selama ini, pengertian tanah wakaf seolah-olah hanya tempat ibadah atau makam, namun sesungguhnya masih banyak lagi fungsi tanah wakaf yang dapat digunakan bagi tempat pendidikan seperti taman kanak-kanak atau PAUD, madrasah sampai universitas, pos kamling, balai RT, balai RW sampai balai desa, poliklinik, rumah sakit, tempat olah raga seperti lapangan basket, lapangan volley sampai lapangan bola, jalan, tempat kost, toko, kebun, tambak dan sawah yang hasilnya untuk kesejahteraan umum.

4. Jangka Waktu Wakaf
Harta benda wakaf, termasuk dalam hal ini tanah, dapat dimanfaatkan untuk selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik hanya mengatur wakaf untuk selama-lamanya. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf telah mengatur bahwa wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu tertentu. Wakaf dengan jangka waktu tertentu memberi peluang dan kesempatan bagi mereka yang ingin beramal, untuk itu Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus segera menyiapkan tata-laksana Pendaftaran Tanahnya. Perlu dicermati Pasal 17 dan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 sebagai berikut.

Pasal 17:
1) Hak atas tanah yang dapat diwakafkan terdiri dari:
a. Hak Milik atas tanah, baik yang sudah atau belum terdaftar;
b. Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha atau Hak Pakai di atas Tanah Negara;
c. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan atau Hak Milik
wajib mendapat izin tertulis pemegang Hak Pengelolaan atau Hak Milik;
d. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
2) Apabila wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dimaksudkan
sebagai wakaf untuk selama-lamanya, maka diperlukan Pelepasan Hak dari
pemegang Hak Pengelolaan atau Hak Milik.
3) Hak atas tanah yang diwakafkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dimiliki atau dikuasai oleh wakif secara sah serta bebas dari segala sitaan,
perkara, sengketa, dan tidak dijaminkan.

Pasal 18
Benda wakaf tidak bergerak berupa tanah hanya dapat diwakafkan untuk jangka waktu selama-lamanya kecuali wakaf hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf c, yang HGB atau HP-nya tidak lagi terpenuhi syaratnya, misal karena HGB atau HP berakhir dan karenanya harus dinyatakan jelas dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW).

Pasal 18 PP 42/2006 yang menyatakan wakaf berupa tanah hanya dapat diwakafkan untuk jangka waktu selama-lamanya jelas bertentangan dengan Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menyatakan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dalam peraturan perundang-undangan berlaku asas “Lex superior derogat legi inferiori” (peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah), dengan demikian yang berlaku adalah Ketentuan Umum UU No. 41 tahun 2004.
Pasal 18 PP 42/2006 mengatur hak guna bangunan (HGB), hak pakai (HP) di atas hak pengelolaan (HPL) atau hak milik (HM) dapat diwakafkan untuk jangka waktu tertentu, hal ini analog dengan hak-hak tersebut dapat diagunkan sepanjang mendapat ijin pemilik tanah. Pada hakekatnya bahwa tanah hak guna bangunan (HGB) atau hak pakai (HP) di atas hak pengelolaan (HPL) atau hak milik (HM), pemegang haknya bukan pemilik tanah, tetapi pihak yang menggunakan dan memanfaatkan tanah atas perjanjian dengan pemilik tanah, yang dalam hal ini pemegang hak milik (HM) atau hak pengelolaan (HPL).
Fakta dalam masyarakat menunjukkan bahwa peraturan dan berbagai regulasi yang dibuat dalam bidang pertanahan, termasuk di dalamnya aturan perundang-undangan, tidaklah sempurna; baik karena kurang lengkap maupun adanya ketidak jelasan, bahkan tumpang tindih. Terlebih lagi dalam suatu aturan perundang-undangan yang relatif lengkap sekali pun, dalam perjalanan waktu, dan dinamika perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata masih dapat menimbulkan adanya kekosongan hukum. Maka salah satu terobosan yang dapat dilakukan melalui penemuan hukum yaitu dengan metode interpretasi dan analogi.
Analogi merupakan cara penalaran untuk menerapkan suatu ketentuan terhadap ketentuan lain yang mirip dengan peristiwa yang diatur oleh peraturan perundangan-undangan tersebut. Prinsip dasar analogi memberikan penafsiran terhadap suatu peraturan hukum dengan memberi makna pada apa yang tersurat sesuai dengan asas hukumnya. Tentang penalaran analogis dalam hukum, Brian H. Bix menjelaskan sebagai berikut: ”The basic structure of analogical reasoning is that if two items or situations are alike in some ways, they are (or should be treated) alike in other ways”, yang artinya struktur dasar penalaran analogi merupakan keadaan dalam hal dua kasus yang memiliki persamaan, maka harus diperlakukan sama.
Suatu peraturan perundang-undangan diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut, tetapi peristiwa itu mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur oleh undang-undang itu. Analogi di sini memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Analogi merupakan suatu jenis penalaran dalam ilmu hukum yang dipergunakan dalam rangka memberikan kepastian hukum sebagaimana diutarakan oleh Henry Bracton, seorang hakim Inggris, yang meletakkan dasar ilmiah dalam penerapan hukum melalui analogi.
Penalaran analogi sangat membantu memberikan kepastian hukum dalam kasus pertanahan,
namun terbatas pada bidang hukum perdata saja tidak pada hukum pidana. Oleh karena itu, hak milik (HM), hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pakai (HP) dan hak milik atas satuan rumah susun (HM-SRS) dapat diwakafkan untuk jangka waktu tertentu analog dengan hak-hak tersebut dapat diagunkan untuk memperoleh kredit. Hak-hak atas tanah yang diwakafkan untuk jangka waktu tertentu akan banyak membuka peluang dan kesempatan seseorang untuk beribadah bagi kesejahteraan umum. Pasal 18 PP No. 42 Tahun 2006 dengan demikian perlu direvisi karena bertentangan dengan undang-undangnya. Wakaf dengan jangka waktu tertentu akan lebih mengoptimalkan fungsi ekonomi tanah wakaf, seseorang yang memiliki sawah dapat diwakafkan misalnya selama 10 (sepuluh tahun) yang mengelola tetap nazhir dan hasil sawahnya untuk anak yatim, setelah sepuluh tahun bidang tanah dapat dikembalikan ke pemiliknya semula.

Jogjakarta, 24 Juli 2011
TJAHJO ARIANTO
Mantan petugas ukur Badan Pertanahan Nasional

-oOo-

Disclaimer: “Tulisan yang saya, Bambang ardiantoro bin Santoso, sunting tidaklah senantiasa buah pikir saya pribadi, melainkan banyak yang karya orang lain yang saya yakini baik untuk ditular-lanjutkan kepada sesama; karenanya saya menyatakan bahwa setiap kesalahan yang timbul sebagai akibat suntingan tetaplah ada pada saya pribadi dan saya sanggup mempertanggungjawabkan bilamana ada, sebab saya sangat berharap berbagai hal yang baik selayaknya diketahui oleh sesama; seraya saya mohon kepada pihak-pihak yang menemukan hal-hal jelek pada karya suntingan saya, kiranya sudilah mengirimkan saran perbaikan demi kelengkapan dan upaya menjadi lebih baik sekarang juga mulai dari yang kecil-kecil di diri sendiri.”
Komunikasi: bambangardiantoro@yahoo.co.id
Informasi: tanyajawabpertanahan@yahoo.co.id
Amal: amalbambang@yahoo.co.id
https://bambangardi.wordpress.com/
-&-

Disclaimer: “Tulisan yang saya, Bambang ardiantoro bin Santoso, sunting tidaklah senantiasa buah pikir saya pribadi, melainkan banyak yang karya orang lain yang saya yakini baik untuk ditular-lanjutkan kepada sesama; karenanya saya menyatakan bahwa setiap kesalahan yang timbul sebagai akibat suntingan tetaplah ada pada saya pribadi dan saya sanggup mempertanggungjawabkan bilamana ada, sebab saya sangat berharap berbagai hal yang baik selayaknya diketahui oleh sesama; seraya saya mohon kepada pihak-pihak yang menemukan hal-hal jelek pada karya suntingan saya, kiranya sudilah mengirimkan saran perbaikan demi kelengkapan dan upaya menjadi lebih baik mulai dari yang kecil-kecil.”
Komunikasi: bambangardiantoro@yahoo.co.id
Informasi: tanyajawabpertanahan@yahoo.co.id
Amal: amalbambang@yahoo.co.id
http://www.bambangardi.wordpress.com
-&-

HUKUM AGRARIA DIBANDINGKAN HUKUM PERTANAHAN
penyunting: Bambang Ardiantoro bin Santoso, 22 Juni 2012

Dikutip dari pendapat Herman Soesangobeng, SH, MA seorang peneliti, analis adat dan pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional dalam rangka pembentukan Hukum Pertanahan Nasional, disampaikan bahwa selama ini terdapat kerancuan pandangan yang menganggap pengembangan norma hukum agraria berarti sama dengan mengembangkan hukum pertanahan, karena menganggap istilah ‘agraria’ dipandang lebih luas dari ‘tanah’.
Tafsiran ini tampaknya diawali dari penjelasan dan tafsiran Gow Giok Siong yang menyatakan bahwa istilah ‘hukum agraria’ lebih luas daripada ‘hukum tanah’. Padahal, kajian perbandingan sistem hukum Romawi, civil law, common law, maupun hukum adat (customary law), membuktikan sebaliknya bahwa cakupan masalah yang diatur ‘hukum pertanahan’ lebih luas daripada ‘hukum agraria’. Kerancuan maupun kesalahan tafsir tentang arti hukum agraria (agrarian law, agrarischerecht) dibandingkan dengan hukum pertanahan (land law, grondrecht), perlu dipertegas arti beserta lingkup masalah yang diatur oleh masing-masing hukum tersebut.
Kajian perbandingan hukum membuktikan, setiap sistem hukum mengenal perbedaan tegas antara hukum pertanahan terhadap hukum agraria. Hukum pertanahan mengatur tanah sebagai benda tetap (tidak bergerak) bertalian erat dengan hukum harta kekayaan, sedangkan hukum agraria mengatur perbuatan hukum untuk mengolah dan memanfaatkan tanah—dalam hal ini benda-benda di atas tanah dikategorikan sebagai benda bergerak. Pada hukum pertanahan itulah, tanah dibedakan jenisnya menurut kedudukan hukum berikut subjek pemegang hak yang berhak memiliki dan mengurusnya.

Jember, Januari 2006
TJAHJO ARIANTO

1. Hak Milik Adat menjadi SHM: 98 hari

2. Sertifikat pengganti karena hilang: 35 hari

3. Hak Tanggungan & Roya: hari ke-7

4. Peralihan/Peningkatan Hak: 14 Hari kerja

5. Pengukuran bidang tanah hasil peta bidang tanah: 14 hari kerja

dan masih banyak lagi…

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.